Cahaya Sunyi Ibu

Cerpen Triyanto Triwikromo
Jawa Pos, Minggu, 21 Okt 2007,

Badak Tak Berbedak
JANGAN sekali-kali kaubuat Ibu kesepian, Ros. Kesepian, mungkin kau tidak pernah tahu, mirip krematorium. Panas, gelap, berdinding tembok dingin kelabu, dan sangat pengap. Di panti wreda, saat aku melayat Caroline, Ibu mengamuk hanya gara-gara aku tak bergegas membawa sahabatnya yang kerap bercerita tentang keindahan kepak burung seagull di Pantai Santa Monica atau Redondo itu, ke rumah sakit terbaik di Los Angeles.

“Sepeninggal Caroline, aku pasti akan seperti merpati tua yang rapuh dan kehilangan keinginan untuk sekadar menggerakkan sayap. Aku pasti seperti tinggal di sebuah rumah yang dipenuhi oleh cahaya sembilan matahari,” kata Ibu yang kutahu kerap meniru-niru perumpamaan dalam Kitab Wahyu saat menggambarkan situasi dan kondisi buruk yang bakal dialami.

Tak kurespons imajinasi Ibu yang kacau itu. Tak seharusnya perempuan 60 tahun seanggun dan sekuat Ibu berbicara tentang panti wreda yang menyerupai neraka atau malam penuh suara riuh sembilan naga yang menyembur-nyemburkan api ke sekujur kamar sarat boneka.

Aku menduga kesalingbergantungan Ibu dan Caroline –termasuk dalam mengurus bunga anggrek dan mawar di taman– telah membuat kedua perempuan itu seakan-akan tak memiliki tongkat penopang lain. Mereka tak pernah bisa percaya orang lain, bahkan kepada Nora, direktur rumah penampungan untuk orang-orang tua itu.

“Kalau Caroline mati, pasti tak lama lagi aku juga akan mati,” kata Ibu suatu hari, “Jadi sebaiknya mumpung masih hidup, perlakukan Caroline sebagaimana kau dan Rosa menyayangi aku.”

Aku menganggap semua omelan Ibu hanyalah strategi untuk melanggengkan persahabatan dia dengan Caroline. Menyayangi Caroline, sebaiknya kau tahu, berarti aku harus ikut mendanai kehidupan dia di panti wreda Glendale. Caroline, nenek sihir 80 tahun itu, tak punya anak yang bisa dirampok untuk mendanai kehidupan masa tua yang tanpa harapan tanpa cucu dan sehamparan kecil taman dengan berbagai pohon dan bebungaan.

“Kalau Yesus masih hidup, kalau tak dililit oleh sembilan naga dari selatan di kayu salib, Raja Bukit Golgota itu pasti akan menolong Caroline. Jadi, jika kau ingin meniru Putra Nazareth itu, ayolah, ajak Rosa atau siapa pun untuk mendanai kami. Masa pada musim dingin yang membekukan tubuh, kau tega membiarkan kami tidur di emperan Jack in the Box atau Burger King?”

Sial! Mengapa Ibu selalu menyertakan Caroline dalam segala hal? Terus terang sejak awal aku sudah enggan berurusan dengan perempuan kacau berwajah sapi yang senantisa berdandan menor itu. Sejak pertama bertemu aku sudah merasa berhadapan dengan monster yang bakal menawan Ibu dengan sihir busuk. Sebagai keturunan Yahudi yang mahir mengucapkan mantera-mantera aneh, aku yakin dia telah mengubah Ibu sekadar menjadi anjing penurut. Bahkan mungkin lebih jauh, hanya jadi beo yang senantiasa menirukan apa pun yang diharapkan oleh perempuan sialan itu.

Aku memang tak pernah tahu secara langsung segala yang terjadi di panti wreda, Ros. Tapi dari segala bisikan manusia-manusia jompo yang selalu kutemui di ruang rehabilitasi, terutama Angela dan Getruida, aku jadi tahu segala tindakan atau perilaku apa pun yang dilakukan oleh Ibu.

“Aku sering mengintip mereka. Caroline suka sekali mengulum bibir ibumu di kamar mandi. Oo, mereka sungguh-sungguh pasangan yang dahsyat. Jika tak ada pengawas, mereka suka tidur bersama dalam satu selimut. Hmm, kalau sudah seperti itu, aku sering membayangkan ada sepasang naga yang bergumul di langit tebal warna kelabu. Dengus dan desis mereka sungguh membuat kami yang telah kehilangan gairah hidup menjadi tak ingin mati esok pagi. O, Rafli yang tampan, apakah kau tetap akan membiarkan mereka bercinta sepanjang hari sepanjang malam?” kata Angela, perempuan 65 tahun berwajah teratai itu dalam nada yang terjaga, dalam irama yang meyakinkan siapa pun yang menjadi lawan bicara.

Ibu bercinta dengan perempuan Yahudi? Apakah aku harus percaya pada gosip murahan? Bagaimana mungkin Ibu yang masih sangat paham pada adab cinta orang-orang Alas –kota kita yang sungai-sungainya nyaris hilang dari ingatan siapa pun– bercinta dengan perempuan belut yang licin dan berbahaya? Jangan-jangan Angela menebar isu semacam itu karena ia tak bisa mencuri perhatian Caroline. Sebab Getruida pernah bilang padaku justru Angelalah yang sangat ingin sepanjang malam dibelai oleh perempuan aneh yang demi kejujuran harus kukatakan masih menawan sekalipun kadang-kadang kubayangkan sebagai badak tak berbedak.

“Tidak ada seorang pun di panti wreda yang tak tertarik pada Caroline, Rafli. John, suami Nora, pun kerap menggoda perempuan indah itu saat bersama ibumu, ia melenggang ke taman. Dan Angela, lesbian tengik itu, ingin mendekap sendiri perempuan yang digandrungi. Karena itu, jangan heran jika ia sangat membenci Tari, ibumu,” desis Getruida, perempuan yang pada masa ranum pernah menjadi penari di beberapa hotel Las Vegas itu, seakan-akan hendak menjilat telingaku.

Edan! Tak bisa kucerna dengan akal sehat segala perkataan orang-orang tua aneh yang jika di ruang perawatan lebih tampak sebagai manusia-manusia dungu yang hanya bisa mengelus-elus boneka sambil menggeleng-gelengkan kepala atau manggut-manggut tanpa irama itu. Juga tak bisa kucerna dengan jernih segala gerundelan manusia-manusia bloon tanpa wajah yang melongo menatap televisi yang menyiarkan kekonyolan polisi Los Angeles saat berhadapan dengan para pelacur ilegal di Casa del Mar itu.

Kesaksian Buijsen

Namun, mengertilah, Ros, aku juga dapat versi lain perilaku mereka dari Martin Buijsen. Buijsen, laki-laki tegap 74 tahun yang mengaku pernah jadi serdadu pada Agresi Militer Belanda II dan pernah tinggal di Yogyakarta itu, justru mengenal mereka sebagai sepasang malaikat yang menyelamatkan kehidupannya yang nyaris gila dan tak punya masa depan.

“Andai tak ada mereka, mungkin aku hanya akan menghabiskan waktuku di kasino-kasino Las Vegas. Ya, berjudi, kau tahu, lebih memberiku kesempatan untuk mengekspresikan kesedihan dan kegembiraan ketimbang bercakap-cakap dengan para sheriff bloon di bar-bar. Di hadapan mesin slot dan meja permainan berornamen elang, aku memang bisa tertawa atau nangis sesenggukan. Itu sebabnya aku tak mau mengurung diri dan hidup bersama orang-orang gagu di panti wreda? Tapi sejak mengenal ibumu dan Caroline, aku jadi kerasan mendengarkan cerita-cerita aneh mereka mengenai naga, sungai-sungai yang dihuni harimau berkepala gajah, atau apa pun yang bisa membuatku lupa pada kucuran darah para remaja Jawa yang kepalanya kupenggal di sembarang tempat,” bisik Buijsen sambil menarik lenganku dan berusaha menjauh dari Angela dan Lortha.

“Kudengar semua orang di panti wreda tak mau bicara denganmu, Buijsen? Juga Caroline dan ibuku?”

“Ya, mereka tak mau bergaul denganku karena takut aku akan membantai siapa pun dengan senapan tua,” kata Buijsen sambil meledakkan tawa, “…itu karena aku memang kerap bercerita atau ndremimil tentang pembantaian-pembantaian yang kulakukan di Maguwo. Padahal, kau tahu, sebagian besar kekejian yang kulakukan hanyalah karanganku belaka. Yang benar-benar terjadi, sebelum migrasi ke Amerika, aku dan para serdadu Belanda yang tengik dan pengecut bersembunyi di sebuah gua sunyi penuh pepohonon rimbun di kaki Gunung Merapi saat terjadi serangan umum yang dipimpin oleh Sultan.”

“Dan tentang Tari dan Caroline?”

“Merekalah yang mau mendengar ceritaku meskipun tahu telah kukibuli.”

“Kau suka mengintip mereka? Mereka suka bercinta?” aku bertanya dalam nada masygul.

Aku berharap dengan mengorek segala hal tentang ibuku dan Caroline dari Buijsen kudapatkan hal-hal baru mengenai mereka. Siapa tahu mereka memang sepasang kekasih yang tak bisa terpisahkan sampai kapan pun.

“Edan! Bagaimana mungkin sepasang malaikat bercinta di hadapan banyak orang? Jangan melontarkan pertanyaan konyol. Hanya perempuan tengik dari Las Vegas semacam Angela dan Lortha, atau Getruida yang bisa berciuman di sembarang tempat. Kau tahu, Rafli, aku justru sering melihat ibumu dan Caroline bersujud lama sekali di taman penuh anggrek dan belalang…”

“Apa yang mereka perbuat?”
“Mereka bilang di tempat itu Santa Maria menggendong bayi bercahaya diiringi tujuh malaikat dan sembilan naga selalu muncul setelah senja tiba. Mereka juga bilang burung-burung dari bulan selalu menyertai perjalanan Perempuan Suci itu.”

“Sampean percaya cerita itu?”
“Kenapa harus tak percaya?”

Ah, Ros, saat Buijsen berusaha meyakinkan diriku tentang penampakan Santa Maria dengan segala kepolosan, aku justru ingat pada Bernadette Soubirous di Lourdes. Caroline dan Ibu jelas bukan perempuan-perempuan indah yang diberkati oleh Maria untuk memberikan terang kepada dunia. Ibu tetaplah perempuan Alas yang kita boyong ke Los Angeles dan tetap percaya Jaka Tarub mampu memenjara seorang bidadari dengan segala kesaktian busuknya. Ia –sekalipun mahir bahasa Belanda dan Inggris– tetaplah komunis saleh yang sangat yakin di Pantai Selatan bersemayam Ratu Kidul yang dengan segala daya mampu mengajak para raja bercinta di istana penuh berlian di dasar samudera. Dan, aku yakin benar, meskipun Ibu kini rajin ke gereja –mungkin untuk mengubur masa silam kelam di Lubang Buaya dan penyamaran– ia sama sekali tak tertarik pada dongeng-dongeng aneh tentang Maria atau keajaiban-keajaiban kecil Bernadette Soubirous.

Aku menduga cerita tentang penampakan Santa Maria hanyalah akal-akalan Caroline agar dia tetap menjadi pusat perhatian. Harus kuakui saat menceritakan pemujaan membabibuta Bernadette terhadap Maria atau mendongeng mengenai gua-gua tanpa kelelawar tempat Bunda Yesus memberi semangat orang-orang miskin di Lourdes agar membebaskan diri dari kesengsaraan, Caroline memang lebih mirip trubador ketimbang nenek tua yang tak mengerti silsilah para nabi atau rasul.

“Karena itu, percayalah padaku, Rafli! Mereka adalah sepasang malaikat yang dikirimkan dari surga untuk menyelamatkan kami –orang-orang tua yang diabaikan oleh anak-anak– dengan katakanlah cerita-cerita tentang keajaiban-keajaiban mawar dan anggrek, iblis harum, serta warna senja aneh yang sekali waktu akan muncul di Pantai Redondo atau Santa Monica. Apakah kau pernah melihat burung-burung seagull di kedua pantai itu, Rafli?” desis Buijsen sambil terus menyeretku ke halaman belakang panti wreda.

Aku menggeleng. Ingin sekali kukatakan kepada pria tua itu betapa aku sama sekali tak suka pada pantai, angin asin, ketam asing, senja brengsek, pasir putih, gelombang kecil, atau burung-burung yang bertengger di batu-batu hitam. Kalaupun sekali waktu harus ke Santa Monica bersama Ibu dan Caroline, itu karena aku harus berpura-pura berbakti kepada orang tua.

“Caroline dan Tari sangat senang memandang langit yang membentang di atas laut. Kata mereka, setelah seseorang mencapai usia lebih daripada 71 tahun, ia akan dapat melihat wajahnya sendiri di antara gumpalan awan.”

“Ya, mereka juga mengatakan seperti itu kepadaku? Apakah Sampean juga telah bisa melihat wajah Sampean yang lucu?”
Buijsen menggeleng.
“Wah, kalau begitu Sampean belum benar-benar menemukan inti kehidupan,” gurauku.

“Inti kehidupan?”
“Ya, inti kehidupan, Buijsen, lahir setelah orang bisa menyembunyikan diri yang buruk ke ceruk sedalam kakus. Inti kehidupan lahir jika Sampean bisa menatap topeng aneh Sampean di sebalik gumpalan awan,” kutipu Buijsen dengan filosofi hidup asal-asalan.

Aku dan Buijsen lalu tertawa bersama. Tak bisa kumaknai dengan pasti apa yang ia tertawakan. Mungkin ia tahu aku hanyalah badut konyol yang sedang kebingungan menghadapi perilaku aneh orang-orang tua yang hidup di panti wreda bersama ibunya. Mungkin ia tahu percakapanku dengan siapa pun di rumah penampungan manusia-manusia jompo ini hanyalah omong kosong yang tak seharusnya dilakukan di kota sepraktis dan sepragmatis LA.

Ah, Ros, terus terang sampai kini aku tak bisa percaya seratus persen pada segala perkataan Buijsen tentang Caroline dan Ibu. Saat mengantar Caroline ke pemakanan, aku tak melihat ia sebagai sosok yang sangat mengenal perempuan badak itu. Wajahnya sama sekali tak mencerminkan sebagai pria yang kehilangan sahabat terkasih saat ia berjalan paling belakang di antara puluhan orang yang mengantar Caroline ke liang lahat.

Aku juga kaget saat dengan bersungut-sungut ia bilang, “Mengapa kautangisi sesuatu yang sudah seharusnya mampus pada saat Hitler membakar para cecunguk Yahudi?”

Jadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya pada manusia yang tak menghargai persahabatan?

Percintaan Anggrek
Tentu saja aku tak pernah menyerah untuk memahami Ibu, Ros. Dan aku sedikit tahu misteri persahabatan Ibu dengan Caroline sehari setelah Caroline dimakamkan. Meniru Angela, Lortha, atau Getruida, aku mengintip segala tindakan Ibu dari jarak yang sangat dekat.

Angin Glendale menggerak-gerakkan lonceng-lonceng kecil di panti wreda malam itu. Suhu 12 derajat Celcius menyusup pelan ke dalam kulit ari-ari, tetapi tetap saja Ibu dengan langkah yang anggun berjalan menuju ke taman, menuju tempat ia dan Caroline memuja patung Maria, bergaul dengan anggrek dan mawar, dan mungkin satu dua belalang.

“O, Putri Anggrek yang cantik, mereka toh tak tahu betapa aku dan Caroline sedang mempersiapkan perkawinanmu dengan Pangeran Mawar. Dan kini Caroline telah meninggalkan kita, apakah kau tetap ingin bercinta dengan kekasih pujaanmu?” kata Ibu sambil membelai setangkai anggrek.

Tentu saja aku terkejut, tetapi aku mencoba menahan diri untuk tak menimbulkan bunyi selirih apa pun. Jika saja bisa menghentikan degub jantung, akan kuhentikan juga suara yang hanya bisa diistirahatkan oleh Tuhan itu.

“Hmm, mereka juga tak tahu, selama ini aku dan Caroline hanya berpura-pura memuja Santa Maria. Mereka tak tahu betapa kami selalu mempercakapkan bagaimana cara melarikan diri dari panti wreda yang menganggap kami –orang-orang tua malang– hanya sebagai barang rongsokan yang diberi obat tidur sepanjang hari sepanjang malam. Okelah, Putri, aku selalu berdoa dan bilang pada Gusti Allah agar Ia jangan mengambil nyawa orang-orang yang baru bertemu dengan warna pagi. Caroline juga bilang pada Allah agar Ia mengambil saja nyawa orang-orang yang telah menatap malam. Jadi, tanpa diracun dengan segala obat pun, kami sudah merindukan kematian.”

Nora hanya memberi obat tidur pada orang-orang jompo ini? Kejahatan macam apa ini? Gigiku bergemelutuk, tapi aku tetap tak mau mengganggu percakapan Ibu dengan anggrek-angrek itu.

“Ya, ya, aku setuju pada pendapatmu, Putri, anak-anak kita akan selalu menganggap kita sebagai sosok yang rapuh, sosok yang jika bisa segera saja dihilangkan dari mata licik mereka. Tapi, aku tak mau jadi sosok yang rapuh itu. Ketahuilah, Putri, bersama teman-teman, besok aku akan melarikan diri dari panti wreda sialan ini. Kami akan ke Redondo, Santa Monica, dan Marina del Rey. Kami akan jadi manusia yang bebas melakukan apa pun di pantai…. Kami akan memandang bulan puas-puas dan menolak permintaan Nora agar kami tidur sebelum pukul 19.00. Kami akan…”

Tipuan Senja

Karena itu, Ros, aku ragu pada temuan-temuan awalku tentang orang-orang yang tinggal di panti wreda ini. Semula kusangka Caroline hanyalah perempuan yang menyembunyikan keyahudian dengan memuja matian-matian Santa Maria di hadapan siapa pun, nyatanya ia martir yang menggalang pemberontakan untuk melawan kekejaman Nora. Semula kusangka Ibu hanyalah perempuan yang bisa menyembunyikan kekomunisannya di negeri paling membenci hantu yang diembuskan oleh mulut bau Karl Marx, nyatanya ia hanyalah perempuan Alas yang menganggap bunga-bunga, daun-daun, dan serangga bisa punya mulut untuk menceritakan isi dunia. Aku juga menduga Buijsen hanya laki-laki pengecut yang ingin menyimpan senapan di balik bantal, nyatanya ia lelaki tengik yang tak menghargai persahabatan.

Jadi, agar kau benar-benar mengerti tentang Ibu, kini tiba saatnya aku mengajakmu ke pantai, Ros. Akan aku ajak kau mendengarkan percakapan Ibu dengan bulan. Akan aku ajak kau mendengarkan Ibu menyenandungkan mantera-mantera aneh sambil ia membayangkan menjadi burung seagull yang terbang ke batas senja, ke keheningan bulan di atas cakarawala.

Apakah menurutmu Ibu akan menjadi burung bulan, Ros? Tak perlu kaujawab pertanyaan itu. Aku lebih berharap Ibu berjalan sendiri ke pantai ini dan menemukan sepasang anak yang mencintainya takjub memandang seorang maharani yang kemilau tangannya bisa mengubah riak ombak menjadi cahaya sunyi yang meneduhkan hati. ***

Los Angeles-Semarang, 2007

Tinggalkan komentar